Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dinilai perlu meninjau ulang peraturan pemerintah (PP) No 78/2015 mengenai Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai besaran upah minimum, kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan.

"Pemerintah dan serikat buruh perlu duduk bersama dan memikirkan skema mengenai upah minimum yang mengakomodir kepentingan pekerja. Di saat yang bersamaan, perlu dipikirkan juga dampak kenaikan upah minimum terhadap para pengusaha, terutama di saat ketidakpastian ekonomi global seperti saat ini," kata Pingkan Audrine Kosijungan, Sabtu.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan PP No 78/2015, upah minimum dihitung melalui formula upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian, perubahan yang terjadi terhadap UMP pun bersifat progresif atau dengan kata lain dapat dikatakan meningkat. Hal ini juga cukup mempermudah perhitungan dikarenakan dapat diprediksi dari pola-pola laju pertumbuhan ekonomi maupun tingkat inflasi per bulan.

Namun, lanjutnya, penghitungan upah tersebut dinilai akan lebih baik dilakukan dengan mengacu kepada Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Pingkan memaparkan, KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan. Penghitungan upah menggunakan standar KHL mengacu pada Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Selain itu, ujar dia, jumlah komponen yang diperhitungkan di dalam KHL juga berbeda antara pemerintah dengan serikat buruh.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menetapkan kenaikan UMP dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2020 sebesar 8,51 persen. Sedangkan untuk besaran UMP tahun 2020 akan ditetapkan dan diumumkan oleh masing-masing Gubernur pada tanggal 1 November 2019 dan untuk UMK diumumkan paling lambat pada 21 November 2019.

Laju inflasi sepanjang tahun 2019 ini cukup terkendali dengan rentang 2,48-3,49 persen. Angka inflasi terendah tersebut terjadi pada bulan Maret 2019, sedangkan untuk yang tertinggi di bulan Agustus 2019.

Sejalan dengan hal itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari yang ditargetkan oleh pemerintah di angka 5,3 persen seperti yang tertera di dalam APBN 2019. Pertumbuhan ekonomi saat ini masih berada di level 5,12 persen.

Bahkan untuk semester kedua di tahun ini targetnya diturunkan menjadi 5,2 persen dengan turut mempertimbangkan perlambatan yang terjadi di kondisi perekonomian global maupun regional. Kenaikan ini tentu akan disambut baik oleh para pekerja, namun akan menjadi tantangan bagi perusahaan yang tengah menghadapi dampak perlambatan global.

Sebagaimana diwartakan, unsur pengusaha di dalam Dewan Pengupahan menyebut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar 8,51 persen cukup memberatkan karena ketentuan itu juga berlaku bagi pekerja baru, belum berpengalaman dan yang masih lajang.

Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, Sabtu, kenaikan tersebut memberatkan karena kondisi perekonomian global yang tidak menentu sehingga berpengaruh pada beberapa sektor bisnis, seperti ritel akibat pukulan bisnis online dan usaha padat karya karena penurunan daya beli masyarakat.

"Walaupun kenaikan UMP DKI sebesar 8,51 persen, namun dengan kondisi ekonomi saat ini bagi pengusaha tetap menjadi beban berat," kata Sarman.

Kendati demikian, Sarman menyatakan kalangan pengusaha akan menghormati dan mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dalam menentukan nilai UMP.

"Kami inginnya UMP naik di kisaran angka Rp4 juta saja, tapi kalau tidak mampu (membayarnya), kami akan secepatnya mengajukan penangguhan kepada pemerintah," ujar Sarman.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019