Kilang Minyak RDMP Balikpapan Kecipratan Investasi UEA

Selasa, 28 Januari 2020 - 07:41 WIB
Kilang Minyak RDMP Balikpapan Kecipratan Investasi UEA
Kilang Minyak RDMP Balikpapan Kecipratan Investasi UEA
A A A
PENGEMBANGAN megaproyek kilang minyak Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan yang dilakukan oleh Pertamina akhirnya mendapatkan angin segar. Perusahaan investasi asal Uni Emirat Arab (UEA), Mubadala, tertarik menggelontorkan investasi untuk proyek ini. Perjanjian prinsip atau Refinery Investment Principle Agreement pun telah ditandatangani oleh Mubadala dan Pertamina. Kerja sama itu, salah satunya, dalam rangka memastikan percepatan pengembangan kilang minyak tersebut.

Ketertarikan UEA menanamkan modal ini merupakan buah hasil dari kunjungan kerja yang dilakukan oleh pemerintah ke UEA. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menuturkan, penandatangan perjanjian ini merupakan bentuk komitmen Pertamina dan Mubadala sebagai salah satu investor yang menyatakan minat untuk pengembangan Kilang Balikpapan. “Ini menunjukkan adanya keseriusan kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan bisnis dalam rangka mempercepat pembangunan Kilang Balikpapan, sebagaimana yang diamanahkan pemerintah kepada Pertamina,” kata Nicke.

Sejatinya, Pertamina sendiri memang sedang mencari investor untuk proyek ini. Proses tersebut telah dimulai pada Mei 2019 dengan penerbitan project teaser kepada calon investor yang terdiri dari perusahaan migas internasional, perusahaan perdagangan, dan investor keuangan. Kemudian pada November 2019, Pertamina telah mengeluarkan preliminary information memorandum kepada investor terseleksi yang telah menyatakan minat dan komitmennya terhadap proyek RDMP RU V Balikpapan. Estimasi investasi yang diperlukan untuk proyek tersebut sekitar US$5,5 miliar.

Mengingat proyek telah memasuki tahapan konstruksi dan sudah ada skema tolling, Pertamina pun mulai menargetkan financial investor (perusahaan investasi keuangan). Dengan kondisi tersebut, Mubadala adalah salah satu financial investor yang berpotensi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Pertamina. Selain itu, Mubadala juga dipandang memiliki kompetensi teknis yang diharapkan dapat membantu Pertamina dalam hal manajemen proyek.

Sampai saat ini, proyek pengembangan kilang RDMP Balikpapan sudah mencapai 11%. Nantinya, kilang ini dapat menghasilkan minyak sampai 360 ribu barel per hari (pbd). Jumlah tersebut naik 100 ribu barel dibandingkan sebelumnya yang hanya 260 ribu bpd. “Tantangannya mungkin menyelesaikan pekerjaan sebelum 2023 pertengahan kilang harus sudah jalan. Dengan kapasitas yang lebih besar dan produk kualitas yang lebih tinggi,” kata Montty Giriann, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kemenko Bidang Perekonomian.

Selain RDMP Balikpapan, Pertamina juga memiliki proyek RDMP Dumai, Balongan, Cilacap, serta proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban dan Bontang. Tujuan keseluruhan proyek ialah meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional, mendukung pertumbuhan industri petrokimia, serta memperkuat bisnis hilir Pertamina. Rencananya, dengan beroperasinya enam proyek ini, nantinya kapasitas produksi kilang minyak yang dioperasikan Pertamina menjadi, 2,2 juta barel per hari.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan pembangunan kilang minyak yang dilakukan oleh Pertamina saat ini akan berdampak positif bagi perekonomian bangsa. Sebab, jika ke enam kilang minyak itu selesai dibangun, akan mengurangi impor BBM dalam juga besar. Selain itu, RDMP juga akan meningkatkan kualitas produk dari BBM dari setara Euro II menjadi setara Euro V. “Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, hasil dari kilang minyak itu juga bisa diekspor,” ujar Fahmi.

Saat ini, konsumsi BMM untuk seluruh Indonesia mencapai 1,4 juta barel per hari. Sementara demi memenuhi kebutuhan BMM ini, pemerintah harus mengimpor sebesar 700–800 ribu barel per hari. Artinya, Pertamina hanya bisa menghasilkan separuh dari konsumsi BMM nasional.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari–Oktober 2019, angka impor migas Indonesia mencapai US$17,617 miliar atau Rp246,6 triliun, turun tipis dari periode yang sama tahun lalu US$24,97 miliar. Sementara, ekspor migas Indonesia pada periode yang sama tercatat US$10,347 miliar. Angka ini juga turun dari periode yang sama tahun lalu US$14,152 miliar.

Untuk impor minyak mentah Januari–Oktober 2019, tercatat US$4,343 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$7,832 miliar. Sementara, impor hasil minyak, termasuk BBM, tercatat US$11,195 miliar atau sekitar Rp156,7 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu US$14,575 miliar.

Sejak 2011, Indonesia mengidap penyakit kronis yang bernama defisit transaksi berjalan (CAD). Defisit paling parah tercatat di 2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB). Penyebab penyakit tersebut apalagi kalau bukan impor minyak yang jorjoran. Keran impor minyak yang terbuka lebar membuat neraca migas Indonesia terus mencatatkan defisit. “Dengan pembangunan enam kilang minyak, nantinya bisa mengurangi defisit transaksi berjalan yang selama ini dikeluhkan oleh Jokowi,” tutur Fahmi.

Sudah seharusnya pemerintah serius menangani masalah ini. Pasalnya, lifting minyak terus mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak terus meningkat. Umur sumur dan lapangan minyak serta infrastruktur yang semakin tua menyebabkan lifting semakin kecil. Jika pembangunan kilang minyak ini berhasil, swasembada energi di negeri ini bukan hanya mimpi lagi. (Ferdi Christian)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4585 seconds (0.1#10.140)